Minggu, 01 November 2009

Temporary Shelter

Hunian Sementara Berkonsep Green Building


Gempa Padang

Gempa berkekuatan 7,6 SR, pada hari Rabu 30 September 2009 tepat pada pukul 17.16 WIB melanda Sumatera. Pusat gempa berada di arah 57 kilometer barat daya Pariaman, Sumatera Barat, berada di 0.84 Lintang Selatan dan 99.65 Bujur Timur. Goncangan itu terasa Kota Padang dan Pariaman dan getarannya dirasakan hampir di seluruh wilayah Pulau Sumatera termasuk Lampung Barat, Jambi, Riau, Bengkulu, Sumatera Utara bahkan hingga negara tetangga, Malaysia, dan Singapura. Gempa tersebut berlangsung selama 15 detik. Sekitar 22 detik kemudian, tepatnya pada pukul 17.38, terjadi gempa susulan berkekuatan 6,2 SR. Namun, dua kali gempa tersebut tidak menimbulkan tsunami.
Gempa tersebut memorakporandakan Kota Padang dan Pariaman dan daerah sekitarnya dan menyebabkan ribuan korban meninggal (lebih dari 1.117 korban jiwa, dan 1.214 orang luka berat dan 1.688 korban luka ringan) dan merusak rumah tinggal berbagai infrastruktur.


Rehabilitasi Rumah Warga
Rehabilitasi rumah warga adalah salah satu hal mendesak yang harus segera dilakukan pasca gempa 30 September 2009. Sebab gempa berskala 7,6 Skala Richter yang mengguncang wilayah Padang dan sekitarnya tercatat telah meluluhlantakkan tak kurang dari 135.488 rumah rusak berat hancur, 65.380 unit rumah mengalami rusak sedang dan kurang lebih 78.604 rumah mengalami kerusakan ringan.
Tetapi membangun sebuah rumah tinggal yang baru, tentu saja bukan persoalan yang mudah bagi warga korban gempa pada saat ini. Apalagi jika hal itu harus dikaitkan dengan harapan tentang sebuah rumah tinggal yang mampu menahan goncangan hebat yang diakibatkan oleh sebuah gempa.
Bantuan untuk masyarakat korban gempa di Sumatera Barat seperti gelombang datang silih berganti, baik berupa makanan, obat, pakaian, penerangan, peralatan rumah tangga, maupun tempat naungan sementara di tenda. Di antara bantuan tersebut mungkin hanya temporary shelter, hunian sementara, yang memerlukan pemikiran lebih serius.
Bagi mereka yang rumahnya rata dengan tanah dan tidak mempunyai lahan memilih berkelompok di barak pengungsian atau membuat tenda bersama tetangga yang senasib. Bagi warga yang rumahnya tidak layak huni tetapi masih mempunyai lahan kosong membuat tenda di area itu. Bagi warga yang bagian rumahnya masih memungkinkan dihuni membuat tenda di emperan rumah karena masih trauma. Warga yang kurang beruntung seperti keadaan di atas harus membangun hunian sementara mereka di area kosong seperti jalan-jalan kampung atau tegalan.
Keberadaan hunian sementara dibutuhkan ketika masyarakat belum mempunyai lahan yang siap bangun dan biaya. Meski begitu waktu huni untuk temporary shelter pun harus dibatasi, misalnya dua, tiga, atau empat bulan sambil menunggu pembangunan rumah permanen.

Pertimbangan Hunian Sementara
Pembangunan hunian sementara ini wajib memerhatikan beberapa pertimbangan terkait dengan kondisi pascagempa.

1. Shelter ini harus dapat disediakan secara cepat dan massal, murah, dan mudah dipasang.
• Kecepatan dan dapat diproduksi massal menjadi syarat untuk memenuhi emergency response.
• Murah dalam arti dapat diadakan oleh pemerintah maupun warga sendiri.
• Mudah dalam pemasangan dan bahan mudah didapat disebabkan terbatasnya tenaga dan keterampilan warga atau relawan.

2. Aman atau tahan gempa. Ini sehubungan masih adanya gempa susulan atau angin kencang yang menyertai hujan. Keamanan konstruksi juga dapat dipengaruhi oleh pemilihan bentuk, sistem struktur, dan bahan hunian sementara. Ketika terjadi gempa, hunian sementara dapat tahan terhadap guncangan gempa, atau bila bangunan roboh (materialnya) tidak membahayakan penghuni, misalnya menggunakan bahan-bahan yang ringan (tripleks, seng, dan lain-lain).

3. Ketiga, harus memenuhi faktor kesehatan,
Karena dalam kondisi sekarang (pascabencana dan musim hujan) sangat berpotensi menimbulkan masalah-masalah baru seperti penyakit flu dan muntaber. Ini didapat dengan meninggikan bangunan, memperlebar tritisan, dan lain-lain. Selain itu, pencahayaan dan penghawaan di dalam bangunan juga harus memadai.

4. Faktor psikologis
Warga yang masih trauma terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan getaran atau suara gemuruh (gempa). Untuk itu, bangunan secara teknis harus tahan gempa atau dapat meredam getaran yang diakibatkan gempa atau kendaraan yang melintas.

5. Faktor perilaku dan adat kebiasaan masyarakat setempat.
Kecenderungan warga yang ingin selalu dekat dengan rumahnya walaupun sudah roboh menjadikan hunian sementara harus fleksibel dengan ukuran lahan yang tersedia. Ketika dua kepala keluarga atau lebih menginginkan bergabung menjadi satu bangunan, hunian sementara juga harus dapat meresponsnya dengan baik. Fleksibel.

Konsep Green Building

Green building adalah sebuah konsep untuk meningkatkan efisiensi sumber daya yang dibutuhkan untuk sebuah gedung, rumah atau fasilitas lainnya. Sumber daya yang dimaksud adalah energi, air, dan material-material pembentuknya.

Pada bangunan Temporary Shelter ini menggunakan konsep pemanfaatan lampu DC Lighting sebagai penerangan buatan yang memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya.






Mudah dalam Aplikasi

Sebuah Sistem Sundaya diinstal menggunakan dengan sangat praktis (Plug and Play sistem), yang terdiri dari kabel DC, T-Con dan S-Con konektor, switch, lampu fitting, soket, busi dan aksesoris lainnya, ditambah semua alat-alat sederhana, yang memungkinkan yang sangat mudah dan cepat instalasi.
Pemasangan sistem ini dapat dilakukan sendiri oleh siapa saja karena praktis dan mudah. Agar mendapat sinar matahari yang maksimal panel PV diletakkan diatas atap.


Desain Temporary Shelter (Hunian Sementara)

Temporary Shelter

Memanfaatkan bahan bekas, sisa runtuhan bangunan, deisesuaikan dengan kondisi yang ada.
Lantai : Papan (panggung)
Dindding : Bambu, tripleks
Atap : Asbes gelombang, rumbia










Tampak Depan & Tampak Samping



Tidak ada komentar:

Posting Komentar