Minggu, 01 November 2009

Temporary Shelter

Hunian Sementara Berkonsep Green Building


Gempa Padang

Gempa berkekuatan 7,6 SR, pada hari Rabu 30 September 2009 tepat pada pukul 17.16 WIB melanda Sumatera. Pusat gempa berada di arah 57 kilometer barat daya Pariaman, Sumatera Barat, berada di 0.84 Lintang Selatan dan 99.65 Bujur Timur. Goncangan itu terasa Kota Padang dan Pariaman dan getarannya dirasakan hampir di seluruh wilayah Pulau Sumatera termasuk Lampung Barat, Jambi, Riau, Bengkulu, Sumatera Utara bahkan hingga negara tetangga, Malaysia, dan Singapura. Gempa tersebut berlangsung selama 15 detik. Sekitar 22 detik kemudian, tepatnya pada pukul 17.38, terjadi gempa susulan berkekuatan 6,2 SR. Namun, dua kali gempa tersebut tidak menimbulkan tsunami.
Gempa tersebut memorakporandakan Kota Padang dan Pariaman dan daerah sekitarnya dan menyebabkan ribuan korban meninggal (lebih dari 1.117 korban jiwa, dan 1.214 orang luka berat dan 1.688 korban luka ringan) dan merusak rumah tinggal berbagai infrastruktur.


Rehabilitasi Rumah Warga
Rehabilitasi rumah warga adalah salah satu hal mendesak yang harus segera dilakukan pasca gempa 30 September 2009. Sebab gempa berskala 7,6 Skala Richter yang mengguncang wilayah Padang dan sekitarnya tercatat telah meluluhlantakkan tak kurang dari 135.488 rumah rusak berat hancur, 65.380 unit rumah mengalami rusak sedang dan kurang lebih 78.604 rumah mengalami kerusakan ringan.
Tetapi membangun sebuah rumah tinggal yang baru, tentu saja bukan persoalan yang mudah bagi warga korban gempa pada saat ini. Apalagi jika hal itu harus dikaitkan dengan harapan tentang sebuah rumah tinggal yang mampu menahan goncangan hebat yang diakibatkan oleh sebuah gempa.
Bantuan untuk masyarakat korban gempa di Sumatera Barat seperti gelombang datang silih berganti, baik berupa makanan, obat, pakaian, penerangan, peralatan rumah tangga, maupun tempat naungan sementara di tenda. Di antara bantuan tersebut mungkin hanya temporary shelter, hunian sementara, yang memerlukan pemikiran lebih serius.
Bagi mereka yang rumahnya rata dengan tanah dan tidak mempunyai lahan memilih berkelompok di barak pengungsian atau membuat tenda bersama tetangga yang senasib. Bagi warga yang rumahnya tidak layak huni tetapi masih mempunyai lahan kosong membuat tenda di area itu. Bagi warga yang bagian rumahnya masih memungkinkan dihuni membuat tenda di emperan rumah karena masih trauma. Warga yang kurang beruntung seperti keadaan di atas harus membangun hunian sementara mereka di area kosong seperti jalan-jalan kampung atau tegalan.
Keberadaan hunian sementara dibutuhkan ketika masyarakat belum mempunyai lahan yang siap bangun dan biaya. Meski begitu waktu huni untuk temporary shelter pun harus dibatasi, misalnya dua, tiga, atau empat bulan sambil menunggu pembangunan rumah permanen.

Pertimbangan Hunian Sementara
Pembangunan hunian sementara ini wajib memerhatikan beberapa pertimbangan terkait dengan kondisi pascagempa.

1. Shelter ini harus dapat disediakan secara cepat dan massal, murah, dan mudah dipasang.
• Kecepatan dan dapat diproduksi massal menjadi syarat untuk memenuhi emergency response.
• Murah dalam arti dapat diadakan oleh pemerintah maupun warga sendiri.
• Mudah dalam pemasangan dan bahan mudah didapat disebabkan terbatasnya tenaga dan keterampilan warga atau relawan.

2. Aman atau tahan gempa. Ini sehubungan masih adanya gempa susulan atau angin kencang yang menyertai hujan. Keamanan konstruksi juga dapat dipengaruhi oleh pemilihan bentuk, sistem struktur, dan bahan hunian sementara. Ketika terjadi gempa, hunian sementara dapat tahan terhadap guncangan gempa, atau bila bangunan roboh (materialnya) tidak membahayakan penghuni, misalnya menggunakan bahan-bahan yang ringan (tripleks, seng, dan lain-lain).

3. Ketiga, harus memenuhi faktor kesehatan,
Karena dalam kondisi sekarang (pascabencana dan musim hujan) sangat berpotensi menimbulkan masalah-masalah baru seperti penyakit flu dan muntaber. Ini didapat dengan meninggikan bangunan, memperlebar tritisan, dan lain-lain. Selain itu, pencahayaan dan penghawaan di dalam bangunan juga harus memadai.

4. Faktor psikologis
Warga yang masih trauma terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan getaran atau suara gemuruh (gempa). Untuk itu, bangunan secara teknis harus tahan gempa atau dapat meredam getaran yang diakibatkan gempa atau kendaraan yang melintas.

5. Faktor perilaku dan adat kebiasaan masyarakat setempat.
Kecenderungan warga yang ingin selalu dekat dengan rumahnya walaupun sudah roboh menjadikan hunian sementara harus fleksibel dengan ukuran lahan yang tersedia. Ketika dua kepala keluarga atau lebih menginginkan bergabung menjadi satu bangunan, hunian sementara juga harus dapat meresponsnya dengan baik. Fleksibel.

Konsep Green Building

Green building adalah sebuah konsep untuk meningkatkan efisiensi sumber daya yang dibutuhkan untuk sebuah gedung, rumah atau fasilitas lainnya. Sumber daya yang dimaksud adalah energi, air, dan material-material pembentuknya.

Pada bangunan Temporary Shelter ini menggunakan konsep pemanfaatan lampu DC Lighting sebagai penerangan buatan yang memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya.






Mudah dalam Aplikasi

Sebuah Sistem Sundaya diinstal menggunakan dengan sangat praktis (Plug and Play sistem), yang terdiri dari kabel DC, T-Con dan S-Con konektor, switch, lampu fitting, soket, busi dan aksesoris lainnya, ditambah semua alat-alat sederhana, yang memungkinkan yang sangat mudah dan cepat instalasi.
Pemasangan sistem ini dapat dilakukan sendiri oleh siapa saja karena praktis dan mudah. Agar mendapat sinar matahari yang maksimal panel PV diletakkan diatas atap.


Desain Temporary Shelter (Hunian Sementara)

Temporary Shelter

Memanfaatkan bahan bekas, sisa runtuhan bangunan, deisesuaikan dengan kondisi yang ada.
Lantai : Papan (panggung)
Dindding : Bambu, tripleks
Atap : Asbes gelombang, rumbia










Tampak Depan & Tampak Samping



Jumat, 23 Oktober 2009

Rangkuman Bab 12

Penelitian sosial teknologi pada bangunan

hemat energi


Menuju perpaduan

sociotechnical

Harald Rohracher


Bab ini bercerita tentang bagaimana pendekatan sosiologis, memberi kontribusi pada upaya untuk mengembangkan dan mempromosikan bangunan berkelanjutan, yang disebut 'Building of Tomorrow'


Bangunan berkelanjutan 'Building of Tomorrow' berfokus pada masalah efisiensi energi pada rumah pasif - yang sangat hemat energi, dan tipe desain energi terbarukan, seperti rumah hemat energi dengan sistem surya. Dimulai dengan meninjau proyek-proyek sosial-ekonomi dan membahas kasus hemat energi ‘smart homes’ menunjukkan bahwa ilmu-ilmu sosial teknologi sangat berguna dalam pengembangan smart homes yang merupakan rumah otomatisasi yaitu perpaduan peralatan, teknologi informasi dan pelayanan di dalam dan di luar rumah, dengan memanfaatkan information dan communication technology (ICT).


Bab ini menceritakan bagaimana pendekatan sosiologis, dan teknologi sosiologi khususnya, dapat berkontribusi pada upaya untuk mengembangkan dan mempromosikan bangunan berkelanjutan. Fokusnya adalah pada program penelitian Austria, pengembangan dan penyebaran pada bangunan berkelanjutan, yang disebut 'Building of Tomorrow'. Bab ini dimulai dengan meninjau proyek-proyek sosial-ekonomi dilakukan di program ini dan melanjutkan untuk membahas kasus hemat energi 'rumah pintar' untuk menunjukkan potensi dari ilmu-ilmu sosial teknologi untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam pengembangan rumah pintar sebagai sociotechnical bagian dari proses perubahan dan untuk berkontribusi dengan analisis seperti untuk proses desain teknis.


Penelitian sosiologis dalam program teknologi seperti 'Building of Tomorrow' berfokus pada berbagai isu-isu seperti analisis hunian, setelah orang yang tinggal di gedung-gedung berkelanjutan; hambatan bagi pengenalan ke pasar teknologi pembangunan berkelanjutan; visi tentang bangunan masa depan; analisis proses perencanaan; pengalaman pengguna dan sikap mereka terhadap bangunan-bangunan yang berkelanjutan, dan studi tentang pengembangan teknologi pembangunan berkelanjutan.


Di seluruh dunia, wacana arsitektur meningkat juga spekulasi bahwa masa depan industri perumahan terletak pada sintesis 'rumah pintar' dan 'green building'. Tim penelitian di Finlandia, Austria dan Amerika Serikat - baik di Massachusetts Institute of Technology dan University of Texas - terlibat dalam desain dan konstruksi prototipe yang mengandaikan hubungan simbiosis antara kedua jenis teknologi. Harald Rohracher memperingatkan bahwa asumsi semacam itu mungkin tidak memiliki landasan sosiologis apapun.


Berdasarkan analisis empiris program 'Building of Tomorrow' di Austria, Rohracher menjelaskan bahwa masa depan 'cerdas berkelanjutan' tidak dapat dihindari, hal itu bergantung pada kemampuan para arsitek, insinyur dan produsen perumahan. Temuannya menunjukkan bahwa ada perbedaan di masyarakat tentang rumah pintar di satu pihak, dan dengan bangunan berkelanjutan di sisi lain, serta memiliki pandangan yang berbeda tentang bangunan di masa yang akan datang.


Perusahaan utilitas, misalnya, cenderung menekankan rumah-rumah mewah yang memberikan keamanan dan hiburan sebagai add-on pelayanan kepada pelanggan mereka. Namun, layanan ini menghasilkan energi yang cenderung negatif terutama bagi yang tertarik pada efisiensi energi.


Rohracher berpendapat, analisis sociotechnical memberikan kontribusi pada desain cerdas berkelanjutan, dengan memanfaatkan penelitian susunan sosial, daripada sepenuhnya berfokus pada desain teknologi. Dalam pengertian ini usulannya punya banyak kaitannya dengan masa depan profesi arsitek untuk masa depan perumahan. Dengan kata lain, Rohracher mengharapkan keterlibatan arsitek dan insinyur untuk merancang perumahan berkelanjutan yang sukses dan cerdas, tanpa mendefinisikan kembali masalah dan restrukturisasi tim desain untuk menyertakan para ilmuwan sosial.





Rangkuman Bab 13

Reflection and engagement
(Refleksi dan keterlibatan)


Menuju keberagaman praktek arsitektur berkelanjutan
Simon Guy dan Steven A. Moore

Sebagai arsitek, kita sedang berjuang untuk mengubah dunia itu, berpikir secara strategis dan taktis tentang apa yang harus berubah dan di mana, tentang bagaimana mengubah untuk apa dan dengan alat apa.


Menceritakan refleksi dan keterlibatan arsitek dalam mewujudkan arsitektur berkelanjutan dengan membaca buku ini penulis mengajak partisipasi pembaca untuk meninjau kembali dan mempertanyakan keabsahan keempat tema yang terdapat dalam buku “Sustainable Architecture” . Dengan cara maksud tersebut bab-bab ini dikumpulkan untuk dijadikan subjek penelitian sebagai bentuk dialog berkelanjutan yang kritis tentang arsitektur yang berkelanjutan. Keempat tema tersebut adalah :
  1. Part A : Modelling design (pemodelan desain); Sebuah keprihatinan utama dari tiga bab dalam koleksi ini adalah gerakan di Eropa dan Amerika Utara menuju standarisasi kriteria untuk menilai 'kebaikan' atau 'kebenaran' hijau atau arsitektur berkelanjutan. Graham Farmer dan Simon Guy (Bab 2), menyimpulkan penelitian mereka dari tiga gedung perkantoran di timur laut Inggris. Kathryn Janda and Alexandra von Meier (Bab 3) danSteven Moore dan Nathan Engstrom, dalam penelitian mereka dari 26 tempat tinggal 'green building program' di Amerika Serikat (Bab 4),
  2. Part B : Responding design (menanggapi desain); Dalam penyelidikan mereka paradoks ini (Bab 5) Timotius Moss, Adriaan Slob dan Walter Vermeulen menemukan bahwa logika yang digunakan oleh para perencana, walaupun sangat rasional, tidak konsisten dengan cara benar-benar mendapatkan hal-hal yang dilakukan dalam dunia desain, manufaktur, persetujuan dan konstruksi. Demikian pula, (Bab 6) oleh Annette Henning, 'Equal couples in equal houses'
  3. Part C : Competing design (desain bersaing); James Wasley (Bab 7), Ted Cavanagh dan Richard Kroeker (Bab 8), dan Marianne Ryghaug (Bab 9) telaah masing-masing kembali cerita di mana realitas versi bersaing memainkan peran utamanya.
  4. Part D : Alternative design (alternatif desain); Seperti dalam tiga tema sebelumnya penyelidikan kami desain alternatif mencakup beberapa penafsiran, kali ini oleh Kirsten Gram Hanssen dan Jesper Ole Jensen (Bab 10), Jamie Horwitz (Bab 11) dan Harald Rohracher (Bab 12).
Perdebatan tentang arsitektur berkelanjutan diantara para arsitek, baik ilmuwan maupun profesional menunjukan keinginan mewujudkan kualitas lingkungan yang lebih baik, dengan ide-ide yang berhubungan dengan alam serta keinginan untuk memperbaiki dengan pendekatan ‘best practice’ dalam desain arsitektur yang berkelanjutan. Serta perlunya standarisasi dalam penafsiran masalah lingkungan dan strategi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Buku ini mendokumentasikan keragaman respons terhadap tantangan lingkungan, serta kritik penelitian tentang dampak lingkungan, melalui berbagai pendekatan teoritis dan empiris, dalam usaha mengembangkan hubungan antara konsep-konsep yang mengkaitkan masalah lingkungan dengan masalah sosial serta proses teknis desainnya, juga menyertakan studi konteks budaya nya setempat.

Pada akhirnya, proyek kami telah menetapkan agenda untuk masa depan penelitian lintas disiplin, termasuk para ilmuwan dan sosiolog, arsitek dan insinyur, filsuf etika lingkungan dan teknologi serta keterlibatan masyarakat.

Kesimpulan :

Sebagai seorang Arsitek, ia harus terlibat dalam proses merancang, mengembangkan dan menghuni ruang hidup, harus berkeinginan, berpikir, dan memimpikan perbedaan, secara kolektif membayangkan dan berpikir bagaimana hal itu harus, walau dalam situasi yang berbeda.


Ini merupakan harapan kami (penulis buku) memberikan kontribusi pemikiran kritis yang bisa membantu merangsang bahwa 'perdebatan tidak pernah berakhir' tentang arsitektur berkelanjutan.


Selasa, 13 Oktober 2009

Sustainable Development

oleh : Johannes Ferdinand


Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan respon atas kecenderungan sistem pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang masih terjadi hingga saat ini. Kecenderungan tersebut diantaranya adalah:

  • Sistem ekonomi yang masih berorientasi pada ekspansi atau perluasan pasar, pengabaian biaya eksternalitas, dan berorientasi untuk sekedar melanggengkan profit sektor privat.
  • Sementara itu sistem pengembangan sosial berupaya untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, meningkatkan keadilan sosial dan kesejahteraa (ekonomi), dan menciptakan kemandirian masyarakat.
  • Sedangkan sistem pengembangan ekologis bersandar pada nilai-nilai, dimana manusia dapat melestarikan alam melalui pembatasan tingkat konsumsi yang masih dapat ditopang oleh kemampuan alam dalam melakukan pemulihan dan penyerapan limbah kegiatan konsumsi.

Tidak jarang ketiga butir diatas sering bersinggungan dan bahkan bertabrakan. Misalkan upaya mengabaikan eksternalitas sebagai upaya melanggengkan profit sektor privat sangat kontradiktif dengan sistem pengembangan ekologi yang sangat menghargai nilai pada lingkungan dan sumberdaya.

Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Lahirnya konsep pembangunan berkelanjutan berawal dari penyelenggaraan Konferensi PBB tentang Lingkungan hidup manusia (United Nation Conference on Human Environment/ UNCHE) di Stockholm Swedia tanggal 5 -16 Juni 1972 yang dihadiri 113 negara termasuk Indonesia yang diwakili Bapak Emil Salim. Konfrensi tersebut menandai keperdulian global terhadap lingkungan sekaligus langkah awal lahirnya paradigma yang melihat hubungan pembangunan dan ketersediaan Sumber Daya Alam (SDA).

Pasca Konfrensi Stockholm, didorong kondisi global yang makin memperihatinkan (kelaparan, kemiskinan dan pencemaran lingkungan) tahun 1983 dibentuk Word Commission on Environment and Development (WCED) dengan 22 anggota komisi, termasuk Emil Salim (Indonesia), yang bertugas menyusun formulasi Agenda Global untuk Perubahan. Komisi memfokuskan kajian pada 8 area analisis yaitu perspektif tentang kependudukan, lingkungan dan pembangunan berkelanjutan; energi; industri; keamanan pangan, pertanian, kehutanan, lingkungan dan pembangunan; pemukiman manusia; hubungan ekonomi internasional; sistem pendukung keputusan untuk pengelolaan lingkungan; dan kerjasama internasional.

Konsepsi pembangunan berkelanjutan sebagai suatu terminologi mengalami popularitasnya melalui publikasi WCED setelah bekerja selama 4 tahun (1987) yang berjudul Our Common Future (“Masa Depan Kita Bersama”) pada saat Konfrensi PPB untuk Lingkungan dan Pembangunan (UNCED). Pembangunan berkelanjutan selanjutnya didefinisikan sebagai “pembangunan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kesempatan generasi yang akan datang untuk memenuhi kehidupannya”. Konsep yang mencoba mempertemukan aspek pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan. Dari definisi pembangunan berkelanjutan diatas terdapat dua kata kunci sebagai fokus pembangunan berkelanjutan, yaitu: kebutuhan dan limitasi. Kebutuhan disini ialah upaya pembangunan untuk dapat menciptakan perbaikan kualitas hidup (quality of life) seluruh umat manusia. Sementara itu, limitasi dimaksudkan bahwa dalam pemanfaatan semua bentuk sumberdaya atau kapital harus disertai dengan kesadaran baru bahwa tindakan pada saat ini membawa konsekuensi dan resiko yang harus dipertimbangkan bagi semua bentuk kehidupan dan generasi pada saat ini dan yang akan datang (IISD, 2005).

Tahun 1992 diselenggarakan Konferensi tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan atau KTT Bumi (Earth Summit) atau dikenal dengan istilah United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Jainero, Brazil. UNCED atau Earth Summit juga begitu penting karena untuk pertama kalinya memberikan kesadaran ke seluruh dunia bahwa masalah lingkungan sangat terkait erat dengan kondisi ekonomi dan masalah keadilan sosial. Setelah Earth Summit 1992, berlangsung berbagai proses dan perkembangan yang penting dalam rangka menciptakan pembangunan secara berkelanjutan di seluruh dunia.

Pengkajian secara menyeluruh dan komprehensif 10 tahun Agenda 21 yaitu pelaksanaan pembangunan berkelanjutan semenjak konferensi yang pertama di Rio de Jainero, dilaksanakan pada tahun 2002 dalam bentuk Konperensi Tingkat Tinggi Dunia (World Summit on Sustainable Development/ WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan tanggal 2 - 12 September 2002 atau dikenal sebagai Rio+10. Lebih dari 189 kepala pemerintahan menghadiri pertemuan tingkat tinggi tersebut. Rio+10 merupakan pertemuan para kepala pemerintahan, kelompok-kelompok masyarakat yang peduli, badan-badan dibawah PBB, lembaga keuangan internasional dan aktor penting lain untuk menilai perubahan yang terjadi di seluruh dunia setelah Earth Summit.

Agenda 21 yaitu sebuah program aksi yang menyeluruh dan luas yang menuntut adanya cara-cara baru dalam melaksanakan pembangunan sehingga pada abad 21 di seluruh dunia pembangunan akan bersifat berkelanjutan.

Agenda yang terfokus akan memperkuat diskusi mengenai berbagai temuan dalam sektor-sektor lingkungan secara khusus (hutan, laut, iklim, energi, air tawar, dll) dan juga topik lintas sektoral seperti kondisi ekonomi, teknologi baru dan globalisasi. Sesuai dengan Resolusi SMU-PBB ke-55 tahun 2000, tujuan utama WSSD adalah mengevaluasi pelaksanaan Agenda 21 (10 tahun pelaksanaan pembangunan berkelanjutan) dan menghidupkan kembali komitmen global mengenai pembangunan berkelanjutan dengan cara mengidentifikasi keberhasilan dan hambatan serta mencari upaya untuk memfasilitasi keberhasilan dan mengatasi hambatan.

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mengeluarkan Agenda 21 Indonesia nasional mengenai strategi pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal dan nasional serta memiliki Agenda 21 Sektoral yang dapat dijadikan dasar didalam meningkatkan pelaksanaan agenda pembangunan berkelanjutan. Indonesia meratifikasi seluruh hasil konvensi UNCED 1992 (UNFCCC, UNCBD dan UNCCD) dan memiliki perangkat normatif penunjang pelaksanaan agenda pembangunan berkelanjutan seperti Undang-Undang Lingkungan Hidup serta beberapa ketentuan dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri.


Pengertian Sustainable Development

Pembangunan berkelanjutan menurut United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan dari generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan dari generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Untuk pertama kalinya muncul konsep yang mencoba mempertemukan aspek pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan (ekologis). Konsep tersebut memiliki makna yang luas dan menjadi payung bagi banyak konsep, kebijakan, dan program pembangunan yang berkembang secara global. Pembangunan berkelanjutan merupakan paradigma baru yang memiliki interpretasi konsep atau aksi yang beragam (Baiquni, 2002:34).

International Institute for Sustainable Development (IISD) bersama kalangan bisnis mengajukan definisi pembangunan berkelanjutan sebagai adopsi strategi-strategi bisnis dan aktifitas yang mempertemukan kebutuhan-kebutuhan perusahaan dan stakeholder pada saat ini dengan cara melindungi, memberlanjutkan, serta meningkatkan sumber daya manusia dan alam yang akan dibutuhkan pada masa mendatang (Baiquni, 2002:34).

Menurut Baiquni (2002:35) pembicaraan tentang pembangunan berkelanjutan berkaitan dengan empat hal. Pertama, upaya memenuhi kebutuhan manusia yang ditopang dengan kemampuan dan daya dukung ekosistem. Kedua, upaya peningkatan mutu kehidupan manusia dengan cara melindungi dan memberlanjutkan. Ketiga, upaya meningkatkan sumber daya manusia dan alam yang dibutuhkan pada masa yang akan datang. Keempat, upaya mempertemukan kebutuhan manusia secara antar generasi.

Menurut Becker & Jahn (1999:69) Konsep pembangunan berkelanjutan memilki 3 (tiga) indikator, yaitu: pertama, penekankan pada aspek lingkungan; kedua, kondisi lingkungan saat ini, dan ketiga, respon masyarakat terhadap permasalahan lingkungan. Perpaduan indikator ini dikembangkan oleh New Economics Foundatioan dan WWF yang direfleksikan dan disampaikan dalam Agenda 21. Pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang mensejajarkan dua pandangan/aliran yaitu teori pembangunan (konteks pembangunan) dan keberlajutan lingkungan (konteks lingkungan).

Berkaitan dengan syarat pembangunan berkelanjutan yang disampaikan Sharpley aspek yang jarang dibahas adalah keberlanjutan sosial (sosial sustainability). Goulet menyampaikan secara eksplisit sosial sustanability sebagai related concern dalam organisasi internal antara masyarakat manusia dan masyarakat dunia dimana saling ketergantung makin meningkat. Untuk itu menurut Goulet etika pembangunan sangat penting termasuk didalamnya adalah kearifan lingkungan. Menurutnya, tidak akan ada etika pembangunan sosial tanpa kearifan lingkungan dan sebaliknya tidak ada kearifan lingkungan tanpa etika pembangunan sosial (Becker & Jahn,1999:27)


Contoh Kasus yang Bertentangan


PT Freeport Indonesia adalah perusahaan tambang paling tua beroperasi di Indonesia. Merupakan perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Perusahaan ini adalah pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. (Wikipedia.com, 2008)

Gbr. 1
Peta Area PT Feeport Indonesia.

PT. Freeport McMoran Indonesia

Perusahaan

PT. Freeport McMoran Indonesia

Jenis Galian

Emas, Perak, Tembaga dan material ikutan lainnya

Tahap

Produksi

Lokasi

Grasberg dan Eastberg, Pegunungan Jaya Wijaya

Luas Konsesi

1,9 juta ha (Grasberg) dan 100 Km2 (Eastberg)

Kontrak Karya

I. 7 April 1967 Kepres No. 82/EK/KEP/4/1967
II. 30 Desember 1996 berahkir tahun 2040

Saham

Freeport McMoRan Copper & Gold Corp (81,28%) PT Indocopper Investama (9,36%), dan pemerintah Indonesia sebesar 9,36%.


Freeport Terbukti Merusak Lingkungan


Dimulai dengan digusurnya ruang penghidupan suku-suku di pegunungan tengah Papua. Tanah-tanah adat tujuh suku, yaitu suku Kamoro, Amungme, Damal, Dani, Nduga, Mee dan Ngalum dirampas awal masuknya PT Freeport Indonesia dan dihancurkan saat operasi tambang berlangsung. Limbah tailing PT Freeport telah menimbun sekitar 110 km2 wilayah estuari tercemar, sedangkan 20 – 40 km bentang sungai Ajkwa beracun dan 133 km2 lahan subur terkubur. Saat periode banjir datang, kawasan-kawasan suburpun tercemar. Perubahan arah sungai Ajkwa menyebabkan banjir, kehancuran hutan hujan tropis (21 km2), dan menyebabkan daerah yang semula kering menjadi rawa.

Selain itu para ibu tak lagi bisa mencari siput di sekitar sungai yang merupakan sumber protein bagi keluarga. Gangguan kesehatan juga terjadi akibat masuknya orang luar ke Papua. Timika, kota tambang PT FI, adalah kota dengan penderita HIV AIDS tertinggi di Indonesia.

Permasalahan ini akan terus berlanjut, tambang emas terbesar dunia ini memiliki cadangan terukur kurang lebih 3046 ton emas, 31 juta ton tembaga, dan 10 ribu ton lebih perak tersisa di pegunungan Papua. Cadangan ini diperkirakan masih akan bisa dikeruk hingga 34 tahun mendatang.

Menurut catatan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sejak 1991 hingga tahun 2002, PT Freeport memproduksi total 6.6 juta ton tembaga, 706 ton emas, dan 1.3 juta ton perak. Dari produksi emas, tembaga, dan perak Freeport selama 11 tahun setara dengan 8 milyar US$. Sementara perhitungan kasar produksi tembaga dan emas pada tahun 2004 dari lubang Grasberg setara dengan 1.5 milyar US$. Freeport menadi penyumbang pajak terbesar di Indonesia dengan jumlah 2 trilyun rupiah.


Sumbangan Freeport terhadap hancurnya kondisi alam dan lingkungan juga tidak kalah besar. Menurut perhitungan WALHI pada tahun 2001, total limbah batuan yang dihasilkan PT. Freeport Indonesia mencapai 1.4 milyar ton. Masih ditambah lagi, buangan limbah tambang (tailing) ke sungai Ajkwa sebesar 536 juta ton. Total limbah batuan dan tailing PT Freeport mencapai hampir 2 milyar ton lebih.
Operasi merusak ekologi jauh lebih besar dari yang dilaporkan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). Dalam Laporan Penilaian kinerja Pengelolaan PT. Freeport Indonesia Tim Studi WALHI menemukan sejumlah dampak perusakan lingkungan yang tidak dilaporkan kepada publik. Studi ini didasarkan pada sejumlah laporan internal dan eksternal lingkungan yang dilakukan oleh PT Freeport sendiri termasuk laporan Telaah Resiko Lingkungan (ERA, Environment Risk Assessment).

Gbr. 2 Penambangan Terbuka Grasberg

Operasi merusak ekologi jauh lebih besar dari yang dilaporkan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). Dalam Laporan Penilaian kinerja Pengelolaan PT. Freeport Indonesia Tim Studi WALHI menemukan sejumlah dampak perusakan lingkungan yang tidak dilaporkan kepada publik. Studi ini didasarkan pada sejumlah laporan internal dan eksternal lingkungan yang dilakukan oleh PT Freeport sendiri termasuk laporan Telaah Resiko Lingkungan (ERA, Environment Risk Assessment).
Laporan Kementrian Lingkungan Hidup bulan Maret 2006 kepada publik tidak cukup memberikan gambaran seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan. Padahal lewat sejumlah laporan yang dikaji oleh WALHI, tampak jelas bahwa resiko kerusakan ekologi yang berlangsung tidak dapat didekati dengan perintah perbaikan. Upaya hukum terhadap PT Freeport yang lebih tegas amat penting dilakukan demi mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut.

Sejumlah temuan kunci dalam studi dokumen yang dilakukan WALHI adalah:
  • Freeport telah melanggar sejumlah ketentuan hukum yang terkait dengan kelalaian dalam pengelolaan limbah batuan, bertanggung jawab atas longsor berulang pda limbah batuan Danau Wanagon yang berujung pada kecelakaan fatal dan keluarnya limbah beracun yang tak terkendali pada tahun 2000.
Diantara limbah yang dihasilkan oleh Freeport, maka yang terbesar dalam volume dan aspek dampaknya adalah limbah tambang terbuka berupa batuan yang dikenal sebagai overburden dan limbah dari proses pengolahan bijih menjadi konsentrat yang disebut tailings. Limbah batuan ini disimpan pada ketinggian 4200 m di sekitar Grassberg. Total ketinggian limbah batuan akan mencapai lebih dari 200 meter pada tahun 2025.

Gbr. 3 Kemanakah Freeport membuang limbah batuan?




















Gbr. 5 Kegiatan Penambangan di Grasberg
  • Freeport tidak memenuhi perintah membangun bendungan penampungan tailing yang sesuai dengan standar teknis legal untuk bendungan, namun masih menggunakan tanggul (levee) yang tidak cukup kuat. Selain itu Freeport mengandalkan izin yang cacat hukum dari pegawai pemerintah setempat untuk menggunakan sistem sungai dataran tinggi untuk memindahkan tailing.

Berdasarkan analisis Citra LANDSAT TM tahun 2002 yang dilakukan oleh tim WALHI, limbah tambang (tailing) Freeport tersebar seluas 35,000 ha lebih di DAS Ajkwa. Limbah tambang masih menyebar seluas 85,000 hektar di wilayah muara laut, yang jika keduanya dijumlahkan setara dengan Jabodetabek. Total sebaran tailing bahkan lebih luas dari pada luas area Blok A (Grasberg) yang saat ini sedang berproduksi. Peningkatan produksi selama 5 tahun hingga 250,000 ton bijih perhari dapat diduga memperluas sebaran tailing, baik di sungai maupun muara sungai. (www.walhi.or.id, 2008).


Gbr. 6 Foto Citra Satelit Dampak Pembuangan Limbah

  • Freeport mencemari sistem sungai dan lingkungan muara sungai, yang melanggar standar baku mutu air sepanjang tahun 2004 hingga 2006. Dan yang tidak kalah parah adalah membuang Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage) tanpa memiliki surat izin limbah bahan berbahaya beracun. Buangan Air Asam Batuan sudah sampai pada tingkatan yang melanggar standar limbah cair industri, membahayakan air tanah, dan gagal membangun pos-pos pemantauan seperti yang telah diperintahkan.
  • Kandungan logam berat tembaga (Cu) yang melampaui ambang batas yang diperkenankan. Kandungan tembaga terlarut dalam efluent air limbah Freeport yang dilepaskan ke sungai maupun ke Muara S. Ajkwa 2 kali lipat dari ambang yang diperkenankan. Sementara itu untuk kandungan padatan tersuspensi (Total Suspended Solid) yang dibuang 25 kali lipat dari yang diperkenankan. Sistem pembuangan limbah Freeport mengancam mata rantai makanan yang terindikasi kewat kandungan logam berat yaitu selenium (Se), timbal (Pb), arsenik (As), seng (Zn), mangan (Mn), dan tembaga (Cu) pada sejumlah spesies kunci yaitu: burung raja udang, maleo, dan kausari serta sejumlah mamalia yang kadangkala dikonsumsi penduduk setempat.
Gbr. 7 Pembuangan Limbah Tailing ke Muara
  • Sistem pembuangan limbah Freeport menghancurkan habitat muara sungai Ajkwa secara signifikan. Hal ini diindikasikan oleh peningkatan kekeruhan muara dan tersumbatnya aliran ke muara. Dalam jangka panjang wilayah muara seluas 21 sampai 63 Km persegi akan rusak.
Gbr. 8 Hamparan Tailing (saat pesawat takeoff di Timika)


Foto yang menggambarkan kerusakan hutan akibat pembuangan limbah dari PT. Freeport Indonesia. Walaupun PT FreePort mengklaim diri bahwa segala kerusakan akibat tambang ditanggulangi secara profesional dan tidak merugikan penduduk setempat, dalam kenyataan ribuan hektar hutan telah tertutup oleh limbah Tailing, dan pastinya secara tidak langsung mengakibatkan dampak terhadap ekositem dunia dalam sekala kecil.

  • Limbah tailing Freeport yang mengandung logam berat ini pun sudah menghilangkan 35% total populasi ikan, kepiting, dan kerang yang hidup di Muara. Sementara itu 30-90% dari total spesies yang ada di Muara terancam terkontaminasi racun dan punah.

  • Sedimentasi yang terjadi di Muara mengancam wilayah Taman Nasional Lorentz terutama di daerah pesisir. Ancaman pokok selain limbah adalah kontaminasi logam berat pada tumbuhan bakau dan spesies-spesies yanga da di pesisir Taman Nasional Lorentz.

  • Kawasan ADA (Ajkwa Deposition Area) seluas 230 km persegi yang telah mengalami kematian tumbuhan akibat tailing takkan pernah bisa kembali ke komposisi spesies semula meski pembuangan tailing berhenti. Diperlukan intervensi teknologi irigasi yang rumit dan asupan pupuk, kompos atau tanah subur yang lar biasa banyaknya untuk bisa membuat kawasan ini bisa ditanami kembali.

Sosial-Ekonomi Penduduk sekitar Freeport


Meski di tanah leluhurnya terdapat tambang emas terbesar di dunia, orang Papua khususnya mereka yang tinggal di Mimika, Paniai, dan Puncak Jaya pada tahun 2004 hanya mendapat rangking Indeks Pembangunan Manusia ke 212 dari 300an lebih kabupaten di Indonesia. Hampir 70% penduduknya tidak mendapatkan akses terhadap air yang aman, dan 35.2% penduduknya tidak memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan. Selain itu, lebih dari 25% balita juga tetap memiliki potensi kurang gizi.

Jumlah orang miskin di tiga kabupaten tersebut, mencapai lebih dari 50 % total penduduk. Artinya, pemerataan kesejahteraan tidak terjadi. Meskipun pengangguran terbuka rendah, tetapi secara keseluruhan pendapatan masyarakat setempat mengalami kesenjangan. Boleh jadi kesenjangan yang muncul antara para pendatang dan penduduk asli yang tidak mampu bersaing di tanahnya sendiri. Boleh jadi pula, angka prosentase yang menunjukkan kemiskinan, seperti akses terhadap air bersih, kurang gizi, akses terhadap sarana kesehatan mengandung bias rasisme. Artinya, kemiskinan dihadapi oleh penduduk asli dan bukan pendatang.

Sedangkan dampak sosial-ekonomi dari pembuangan tailing ke sungai Aikwa terhadap kedua suku tersebut maupun suku-suku lain dari Papua, dapat terlihat dekat dengan mata dimana kota Timika yang dulunya banyak dusun sagu yang memberi makan bagi masyarakat adat Kamoro, dan suku-suku lain dari Papua maupun Indonesia yang tinggal di kota Timika telah rusak. Akibatnya masyarakat tidak bisa mendapatkan sagu sebagai sumber makanan pokok mereka, disamping itu berkembang pesatnya pembangunan yang didukung oleh PT. Freeport Indonesia membuat suku Amungme dan Kamoro menjadi minoritas di atas tanahnya sendiri.


Dengan peralatan sederhana, mereka -pendatang maupun lokal Papua- berani mempertaruhkan nasib, bahkan nyawa, demi mencari konsentrat emas. Kebetulan, metode penambangan oleh PT Freeport Indonesia memang tidak bisa 100 persen menangkap konsentrat emas yang ada dalam bijih.



Gbr. 10 Penduduk setempat mencari emas



Sementara itu pemukiman mereka juga semakin tersingkir dan menjadi perkampungan kumuh di tengah-tengah kawasan Industri tambang termegah di Asia. Dengan demikian perkembangan tambang ditengah-tengah suku Amungme dan Kamoro ini bukannya mendatangkan kehidupan yang lebih baik melainkan semakin memojokkan mereka menjadi kelompok marginal. Hal ini semakin terdorong oleh semakin besarnya arus urbanisasi ke Timika dari daerah-daerah sekitarnya dan dari pulau lain di Indonesia. Dimana kehidupan homogen dimasa lalu seketika menghadapi tantangan dari luar dengan hadirnya berbagai suku dan bangsa yang masuk wilayah adat suku Amunggme dan Kamoro.

Dampak lain dari kehadiran PT. Freeport Indonesia adalah terjadinya berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), sebagai akibat protes masyarakat terhadap PT. Freeport Indonesia yang terkesan tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat Adat Suku Amungme dan 6 suku lain yang disebut sebagai pemilik tanah, emas, tembaga, hutan yang kemudian dikuasai oleh pihak perusahaan. Dalam aksi protes, masyarakat selalu berhadapan dengan pihak aparat keamanan (TNI/POLRI), yang bertugas mengamankan Perusahaan, maka terjadilah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Kasus pelanggaran HAM di wilayah penambangan berlangsung cukup lama sejak hadirnya PT. Freeport Indonesia hingga kini.

Persoalan lain yang paling mendasar bagi masyarakat adat Amungme maupun masyarakat adat Kamoro adalah perlunya pengakuan kepada mereka sebagai Manusia diatas tanah mereka sendiri. Persoalan martabat manusia harus dihargai oleh siapapun. Kalau martabat suku Amungme dan suku Kamoro dihargai sebagai manusia, maka persolan PT. Freeport harus diselesaikan dengan melibatkan kedua suku tersebut sebagai masyarakat adat pemilik sumber daya alam tambang tersebut.

Jadi siapa yang seharusnya disalahkan dalam menangani program yang terkait dengan persoalan sosial ini? Ketika sebuah perusahaan besar datang di suatu daerah, maka gambaran dan harapan dari penduduk setempat adalah: proyek ini membuka sebuah peluang dan mereka akan mendapatkan keuntungan yang selama ini mereka tidak pernah miliki. Karena itu, biasanya masyarakat akan mempertanyakan, apa keuntungan yang mereka peroleh dari keberadaan perusahaan itu. Misalnya, pelayanan kesehatan, pendidikan dan infrastruktur-yang pada dasarnya merupakan tugas pemerintah dalam membangun negaranya.

Pemerintah tentu saja telah mendapatkan royalti dari perjanjian kontrak karya. Dan hasilnya, tidak sepenuhnya diturunkan untuk membangun kawasan sekitar perusahaan. Kebijakan perimbangan pendapatan daerah dan pusat memang telah mengatur pembagian keuangan. Namun, kadangkala realitas yang dirasakan oleh masyarakat sekitar tambang jauh dari yang mereka harapkan.

Harus dimaklumi pula, terkadang apa yang dilakukan pemerintah dianggap tidak mewakili perusahaan dalam menjalankan program sosial sebagaimana yang diharapkan oleh perusahaan tersebut. Karena itu, biasanya masyarakat tetap akan 'menyambangi' perusahaan untuk meminta berbagai layanan bagi mereka, berupa infrastruktur dan uang untuk memenuhi keperluan mereka.



Bertentangan


Proper merupakan salah satu bentuk pengawasan yang sekaligus upaya transparansi dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Melalui Proper, hasil pengawasan yang telah dilakukan oleh KLH disampaikan secara terbuka kepada masyarakat. (Dalam situs resmi KLH)

Selain UU 23/1997 dan Peraturan Pemerintah terkait, landasan operasional pelaksanaan Proper adalah Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 127/MENLH/ 2002 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Untuk meningkatkan kredibilitas Proper maka pelaksanaannya didasarkan pada prinsip-prinsip, "fairness, transparansi, partisipasi publik, dan akuntabel".

Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), menyebutkan bahwa PT Freeport telah melanggar sejumlah peraturan lingkungan hidup. Pelanggaran tersebut diantaranya adalah PT FI tidak memiliki ijin pembuangan air asam tambang. Selain itu jumlah padatan tersuspensi (TSS) yang dihasilkan dan dibuang ke estuari Sungai Ajkwa tidak memenuhi standar parameter padatan terlarut TSS yang ditetapkan. Bahkan, Freeport juga belum mengantongi ijin pembuangan air limbah. Ironisnya KLH hanya akan mengirimkan surat peringatan agar PT FI memperbaiki sistem pengelolaan lingkungannya.

Keputusan pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) terkait hasil analisis Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (Proper) periode 2006-2007 yang diumumkan 31 Juli 2008 itu, sangat bertentangan dengan kenyataan sebenarnya.

Sejak tahun 2002, penilaian tingkat ketaatan lingkungan oleh perusahaan diwakili melalui lima warna, yakni emas, hijau, biru, merah, dan hitam. Jika perusahaan masuk kategori emas, hijau, dan biru, berarti perusahaan yang bersangkutan termasuk taat lingkungan, sedangkan warna merah dan hitam tergolong perusak lingkungan yang akan ditegur dan diajukan ke pengadilan.

Penentuan pemeringkatan itu didasarkan ada empat aspek atau indikator, yakni pencemaran air, pencemaran udara, limbah baham berbahaya dan beracun (B3), serta Analisis Mengenai Dampak Lingkugan (Amdal). Namun anehnya, pada periode 2006-2007 ini KLH memasukkan kategori biru minus dan merah minus. Kecurigaan orang pun menyeruak dengan munculnya warna baru tersebut. Ada dugaan, pemberian warna tambahan itu merupakan bentuk kompromi pemerintah dengan perusahaan-perusahaan besar.

Sebagaimana diketahui, dalam hasil Proper disebutkan dari 161 perusahaan yang masuk kategori biru minus, banyak terdapat perusahaan-perusahaan raksasa antara lain PT Freeport Indonesia dan PT Kaltim Prima Coal. Secara keseluruhan, pada Proper periode 2006-2007, sebanyak 43 perusahaan masuk dalam peringkat hitam (8,33 persen), 39 merah minus (7,56 persen), 46 merah (8,91 persen), 161 biru minus (31,20 persen), 180 biru (34,88 persen), 46 hijau (8,91 persen), dan satu emas (0,19 persen).


Tanggapan Saya sebagai Kesimpulan


Perlu kesungguhan dan niat baik pemerintah. Ketidaktegasan pemerintah dalam mengambil sikap merupakan angin segar bagi PT Freeport Indonesia untuk dapat melanjutkan penambangannya di tanah Papua. Padahal telah kita ketahui bersama bahwa dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh PT Freeport Indonesia sangat besar. Jika hal ini terus dilanjutkan maka generasi yang akan datang tidak dapat menikmati lagi kekayaan alam yang ada di Indonesia.

Di lain pihak sebenarnya pemerintah sebagai penentu kebijakan harus lebih berperan aktif untuk ikut mencegah kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah penambangan PT Freeport Indonesia. Permasalahan yang terjadi di dalam PT Freeport Indonesia lebih memiliki muatan politis. Sehingga dalam permasalahan ini pemerintah harus bertindak lebih tegas agar kerusakan lingkungan yang terjadi tidak dibiarkan begitu saja.

Bergabungnya jajaran ahli ekologi, akademisi, ekonom, pengamat HAM, gender dan kesehatan yang terpelajar dan ternama ke jajaran Badan penasehat PT FI, seperti Prof. Otto Soemarwoto, Prof. Dr. Oekan Abdullah, Dr. .M. Chatib Basri, Prof. Dr. Farid Anfasa Moeloek hingga HS Dillon. (seperti yang disampaikan Forum JATAM) ternyata, sama sekali tak berpengaruh merubah perilaku PT FI. Sebaliknya, mereka manjadi alat penguat klaim Freeport sebagai perusahaan yang bertanggung jawab.

Anehnya hingga saat ini tak ada tindakan signifikan apapun yang dilakukan oleh pemerintah terhadap PT Freeport. Wajar jika rakyat Papua menuduh pemerintah Indonesia hanya merampok kekayaan mereka. Aksi-aksi yang terus mendesak pertambangan ini dikaji ulang atau segera ditutup terus merebak.

Namun penutupan PT Freeport bukanlah hal yang gampang, banyak persoalan yang harus dipertimbangkan seperti kontrak kerja, ribuan pekerja dan keluarganya yang bergantung pada perusahaan itu, pendapatan negara dari royalti dan pajak yang merupakan penyumbang pajak terbesar bagi Indonesia, juga aparat dan pejabat yang ikut mendapatkan keuntungan dari kehadiran PT Freeport.

Yang harus dilakukan sekarang adalah bagaimana mengatasi permasalahan yang terjadi akibat penambangan Freeport. Limbah tambang yang menjadi persoalan besar ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pemanfaatan tailing sebagai bahan bangunan. Pengembangan bahan bangunan dari tailing ini selain dapat menunjang kebutuhan pembangunan juga dapat memecahkan masalah lingkungan yang selanjutnya produk ini dapat dikategorikan sebagai bahan bangunan ekologis. Pemanfaatan tailing untuk bahan bangunan atau konstruksi, telah dilakukan oleh beberapa negara termasuk Indonesia melalui penelitian-penelitian. Namun pemanfaatan tailing yang telah dilaksanakan dalam bentuk proyek tidak nampakkan mutu/ kualitas yang baik, sehingga ini berdampak buruk terhadap penilaian masyarakat akan upaya memanfaatkan tailing sebagai material bekas.

Sesungguhnya bila benar limbah pasir ini dapat dimanfaatkan dan dikelola dengan baik, maka masyarakat adat setempat juga bisa mendapatkan keuntungan keuntungan secara ekonomis. Pendapatan keluarga bisa meningkat. Yang penting diperhatikan bahwa pengelolaan limbah pasir dari Freeport itu diserahkan kepada masyarakat. Pemerintah cukup mengatur dan memfasilitasi masyarakat. Tapi haruskah masyarakat adat setempat yang memiliki hak ulayat yang harus mendapatkan sisa dari hasil yang berlimpah ruah itu???

Memang, dalam berbagai kasus, ternyata perusahaan dan pemerintah tidak selalu berhasil dalam menjalankan program kemasyarakatan mereka sendiri. Dengan semangat demokratis, pemerintah dan perusahaan perlu melibatkan dan menjalankan program secara kemitraan dengan melibatkan masyarakat serta lembaga pembangunan, atau LSM (lokal, regional maupun internasional) untuk mencapai keberhasilan pengembangan sosial dan lingkungan yang baik.


Daftar Pustaka


Adams, W. M., Green Development Environment and Sustainability in the Third World (London: Routledge, 1990).

Baiquni, M, “Integrasi Ekonomi dan Ekologi dari Mimpi Menjadi Aksi,” dalam Wacana, III, 12, 2002.

Becker, Egon, & T. Jahn (eds.), Sustain-ability and The Social Sciences (New York: UNESCO dan ESOI, 1999).